Minggu, 14 April 2013


Terkadang kita tidak bisa menahan amarah atas hal ketidak senangan yang menimpa kita karena tindakan orang lain ataupun karena hal yang lainnya, tapi haruskah kita menanggapi itu dengan kemarahan yang brutal dan membalas semua hal yang dilakukan orang lain terhadap kita.
 Suatu ketika ada seorang anak laki-laki yang bersifat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku dipagar belakang rumahnya setiap kali ia marah.
Hari pertama anak itu telah memakukan 48  paku kepagar secara rutin tiap kali ia marah, lalu secara bertahap jumlahnya berkurang. Dia mendapati bahwa ternyata lebih mudah menahan amarahnya dari pada memakukan paku kepagar.
Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikakan amarahnya dan tidak cepat hilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang kemudian mengusulkan agar dia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana ia tidak marah.
Hari-hari berlau dan anak laki-laki itu akhirnya memberi tahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya kepagar . “hmm, kamu telah berhasil dengan baik anaku, tapi, lihatlah lubang-lubang dipagar ini. Pagar ini tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. “ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meniggalkan bekas seperti lubang ini di hati orang lain. Kamu dapat menusukan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu, tetapi seberapa kali kamu meminta maaf, luka itu akan tetap ada dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik bahkan bisa lebih sakit.

Jadi?
 Ya, selama masalah itu bisa di selesaikan dengan kepala dingin kenapa harus marah.

0 komentar:

Posting Komentar